Ibrahim Isa
Tanggapan sehubungan rencana Belanda akan merayakan 400 th berdirinya VOC, 20 Maret 2002

http://www.xs4all.nl/~badjasur/kreasi/no5/apano5.htm

Tidak banyak orang Indonesia, mungkin juga termasuk para sejarawannya, yang mengetahui bahwa tahun depan ini, 20 Maret 2002, pihak Belanda (jangan kaget) akan memperingati, bahkan akan merayakan 400 tahun berdirinya VOC.
Memang, menurut catatan sejarah (internasional) 400 tahun yang lalu, pada tanggal 20 Maret, di Amsterdam, Nederland, sebuah gabungan perusahaan perdagangan Belanda yang baru didirikan dengan nama Verenigde Oostindische Compagnie (VOC), Dutch United East India Company, memperoleh OCTROOY, dari STATEN GENERAAL (semacam Dewan Perwakilan) dari negara Belanda. Dengan izin/hak octrooy itu VOC memperoleh monopoli atas perdagangan, terutama rempah-rempah, dengan negeri-negeri dan wilayah di sebelah Timur dari Kaap de Goede Hoop dan Kaap Hoorn, Afrika Selatan. Octrooy tersebut adalah hak monopoli perdagangan dengan seluruh Asia. Kecuali VOC, tidak satupun perusahaan dagang Belanda lainnya yang boleh berdagang dengan Timur. Tujuan negara Belanda ialah agar mereka bisa kiprah bersaing dengan lawan-lawan utamanya, Portugis dan Inggis, dalam memperrebutkan dan menguasai negeri-negeri penghasil rempah-rempah di Timur dan pasaran bagi komoditi yang mereka bawa dari Eropah.

Monopoli VOC tidak berhenti sampai di situ saja. Monopoli itu juga berarti bahwa negeri-negeri lainnya, saingan-saingan Belanda, seperti Portugis dan Inggris (yang sebelumnya menjegal Belanda untuk melakukan perdagangan di wilayah tersebut), dicegah berdagang di wilayah tersebut. Sudah dengan sendirinya, Indonesia, khususnya daerah Indonesia Timur sebagai penghasil utama rempah-rempah ketika itu, kongkritnya Banda dan Maluku, dilarang berdagang dengan bangsa dan perusahaan lain kecuali dengan VOC. Itulah hak octrooy, hak monopoli VOC, yang “diperolehnya” dari Staten Generaal di Amsterdam. Karena hak octrooy tersebut begitu luasnya dan sampai menganggap dirinya berhak untuk memaksakan bangsa lain hanya boleh berdagang dengan VOC saja, maka VOC sebagai perusahaan dagang punya hak dan kedudukan istimewa. VOC diberi hak oleh negara Belanda untuk memiliki dan membawa senjata, mesiu dan serdadu. VOC punya hak untuk membangun benteng-benteng, melakukan perundingan dan persetujuan dengan negeri-negeri lain, memaklumkan dan melancarkan peperangan. Mereka menangkap dan menghancurkan kapal-kapal dagang lain yang merupakan saingannya. Melalui perdagangan mopoli dan peperangan, lewat penindasan dan penguasaan, selama 200 tahun berdirinya, dengan menggunakan armada yang terdiri dari lebih 100 kapal dagang/perang yang dibangunnya sendiri dengan teknik pembangunan kapal yang canggih ketika itu dan bahan-bahan berkwalitas, VOC telah menjadi perusahaan dagang, yang berwajah ganda, yaitu sebagai perusahaan dagang dan sebagai negara. Pada zamannya VOC menjadi perusahaan dagang yang terbesar di dunia. VOC memiliki faktori-faktori, pangkalan dagang di mancanegara seperti di Deshima (Jepang), Mokhia (Yaman), Surat (Persia) dan Batavia, Indonesia. Menurut lembaga atau yayasan yang khusus didirikan di Belanda untuk perayaan 400 th VOC, berdirinya VOC, 20 Maret 1602, merupakan pertanda dimulainya orientasi mencanegara dari Nederland, dan merupakan suatu periode dari pertumbuhan besar-besaran di bidang ekonomi dan kultur negeri Belanda. Yang disebut “Gouden Eeuw,” di Belanda, atau Zaman Keemasan Belanda, zaman ketika Belanda mulai marak dengan berdirinya serta kegiatan usaha kultural teristimewa perubahanperubahan sosial, semua itu tidak terpisahkan dari “jasa-jasa” VOC. Tidak mengherankan bahwa tujuan dari perayaan 400 tahun VOC, menurut fihak Belanda, singkatnya ialah untuk: Mencurahkan perhatian terhadap arti penting dari VOC untuk prakarsa orientasi internasional dan pertumbuhan ekonomi dan kebudayaan Nederland, ditinjau dari perspektif historis, tetapi dalam hubungannya dengan masa kini dan mendatang. Mereka hendak memberikan gambaran serta memberikan aksentuasi mengenai arti penting orientasi internasional, tentang kemahiran berusaha (enterpreneurship), ketrampilan (craftsmanship), serta inovasi untuk masadepan Nederland. Hendak mempresentasikan Nederland sebagai bangsa maritim, finansial dan pedagang dan sebagai negeri pintu gerbang untuk masuk Eropah. Yah, itu dilakukan semua untuk kepentingan Belanda. Sepenuhnya bisa dimengerti, dari sudut pandangan kepentingan dunia bisnis Belanda.

Memang, pada saat ini, seluruh dunia, termasuk negeri-negeri seperti Belanda, untuk mempertahankan dan meningkatkan taraf hidupnya, harus mampu berhadapan dengan periode menumpuknya pelbagai soal-soal ekonomi, politik, sosial dan lain-lain. Eropah antara lan mengambil langkah penyatuan mata uang 12 negeri yang tergabung dalam Uni Eropah. Ini mereka lakukan sehubungan dengan digalakkannya globalisasi pada masa meningkatnya kegiatan kapitalisme dunia. Semua negeri dihadapkan pada situasi persaingan hidup-mati di kalanagan multi-nasional (menurut catatan di Belanda saja, tahun ini perusahaan yang failit karena persaingan jumlahnya 30% lebih banyak dari tahun lalu), baik itu di bidang industri, pertanian, teknik, perdagangan, perbankan, ilmu, industri-militer dan lain-lain; masa pertarungan antara konsep ekonomi kapitalisme-liberal yang bertolak dari beleid memberikan kebebasan sepenuhnya pada ekonomi-pasar, versus konsep pembangunan ekonomi di mana tanggunjawab dan keterlibatan pemerintah masih tetap diperlukan bahkan adakalanya harus diperkuat, terutama mengenai masalah perumahan, kesehatan, pendidikan rakyat, komunikasi, masalah mengatasi pengangguran, dan lain-lain bidang yang menyangkut kepentingan rakyat banyak, serta perlunya pemerintah mengekang persaingan bebas agar jangan sampai menuju pada pembentukan kartelkartel terselubung yang melakukan monopoli demi mengejar keuntungan yan lebih besar; pada saat di mana semakin besarnya arus pengungsi dari negeri-negeri dunia ketiga – dari negeri-negeri miskin yang terus-terusan dilanda perang dalam negeri dan bentrokan-bentrokan sosial yang berkepanjangan, (atau yang disebabkan oleh pengekangan dan penindasan hak-hak demokrasi dan HAM oleh penguasa di pelbagai negeri asal pengungsi tersebut menuju ke negeri-negeri yang kaya dan maju, dari Timur ke Barat, dari Selatan ke Utara, dan lain-lain masalah mendesak dunia dewasa ini.

Dunia dihadapkan pada perjuangan antara negeri-negeri berkembang dari dunia ketiga di Selatan, versus negeri-negeri maju yang kaya di Utara, yang meneruskan praktek-praktek dominasi dan eksploitasi ekonomi dan finansial, melalui pelbagai usaha langsung ataupun lewat lembaga-lembaga dunia seperti IMF, WTO, World Bank, dan lain-lain. Perjuangan itu masih berlangsung terus dan tidak ada tanda-tanda akan mereda. Karena nafsu mengejar keuntungan dan kekayaan sebesar-besarnya dari negeri-negeri kaya tersebut samasekali tidak mengendur. Menghadapi problimproblim dunia tersebut, tampaknya Belanda, mencari inspirasi antara lan dengan menengok kembali ke masa lampau ederland, ke zaman jaya-jayanya VOC, ke De Gouden Eeuw van Nederland, juga untuk menarik pelajaran darisejarah mereka, selanjutnya bagaimana mencari solusi terhadap soal-soal masa kini dan masadepan Nederland. Itulah a.l, sebabnya Belanda bikin rencana memperingati dan merayakan 400 tahun berdirinya VOC.

Yang jadi soal bagi saya ialah bahwa cara memandang fihak Belanda ke masa lampau, ke tempo doeloe, ke kegiatan VOC dan pemerintahan Hindia Belanda sebelum Indonesia Merdeka, adalah berat sebelah. Mereka hanya melihat segi cerahnya saja dari fihak mereka, tidak melihat segi gelapnya. Hanya mau melihat peranan VOC yang menguntungkan negara Belanda, dan tidak mau mengemukakan bahkan menutupi segi-segi negatif dari peranan VOC terhadap bangsa dan negeri Indonesia. Inilah yang antara lain pernah dicanangkan oleh seorang pakar Belanda, Dr. Gerrit Knaap, yang dalam desertasinya pernah menulis tentang “Cengkeh dan Nasrani, VOC dan Penduduk Ambon”. Dr. G Knaap yang menjabat sebagai Kepala Departemen Dokumentasi Sejarah dari KITLV dan lancar berbahasa Indnesia itu, mengemukakan antara lan:

Di kalangan orang-orang Belanda tidak sedikit yang punya “ideologi kolonial”. Pandangan tersebut berdominasi pada zaman kolonial. Tapi sampai sekarang juga masih ada yang masih mempertahankan “ideologi kolonial” tersebut. Orang-orang sperti itu ia sebut orang-orang Belanda golongan “Generation of 49,” atau “Angkatan 49”. Mereka itu adalah orang-orang yang dilahirkan dan dibesarkan dalam tahun 1940-an atau sebelumnya, termasuk bekas-bekas KNIL ataupun KL, serta yang disebut kaum Indo-Belanda ataupun yang Belanda tulen. Mereka umumnya berpendapat bahwa pada masa “Tempo Doeloe” itu, Belanda datang dan ngendon di Indonesia, adalah dengan mengemban tujuan damai dan idealistik. Dan bahwa peperangan yang dilancarkan Belanda di Indonesia ketika itu, termasuk “Aksi Polisionil” pertama dan kedua sesudah 1945, dilakukan Belanda demi untuk menciptakan keadaan “damai dan ketertiban,” sesudah mana keadaan penduduk (Indonesia) dapat ditingkatkan ke taraf sivililasi yang lebih tinggi.

Bagi mereka VOC itu semata-mata adalah suatu perusahaan dagang belaka dan bukanlah merupakan organisasi serupa kenegaraan yang bisa secara sistimatis melancarkan perang, perang penaklukkan terhadapbangsa-bangsa lain. Bagi mereka itu, tampaknya adalah tidak masuk diakal, bahwa orangorangBelanda bisa mempraktekkkan kekuasaan penindasan dan kekejaaman terhadap rakyat Indonesia, seperti yang dilakukan oleh kekuasaan pendudukan Jerman atas rakyat Belanda dalam periode 1940 – 1945. Parahnya ialah, bahwa sesudah 1949, publik opini di Belanda banyak terpengaruh oleh pandangan tersebut. Pengaruh itu bukan kecil dan sampai dewasa inipun masih ada di kalangan atas termasuk di Den Haag dan sementara lembaga kerajaan, seperti kongkritnya tampak pencerminannya pada ide dan acara untuk memperingati dan merayakan 400 tahun berdirinya VOC. Namun, harus dikemukakan bahwa di kalangan generasi baru sarjana ilmu sosial Belanda, khususnya para sejarawannya, para dosen dan guru-guru pandangan “ideologi kolonial” itu sudah tiada lagi. Hal mana bisa di lihat di dalam penyusunan buku sejarah untuk MAVO dan VWO anno 2001. Seperti kata Dr Gerrit Knaap, isinya sudah di”dekolonisasi”. Buku-buku tersebut secara terbuka mengutuk eksploitasi dan penindasan satu golongan nasion tertentu terhadap golongan bangsa lainnya. Isinya anti-imperialis dan bahkan “Kiri”. Buku-buku tersebut menilai perbuatan kolonialisme Belanda di Indonesia dengan standar-ukuran dan nilai-nilai deklarasi hak-hak azasi manusia dewasa ini. Ini segi positif yang mencerminkan kemajuan golongan generasi muda Belanda. Hal ini pulalah yang memberikan pengaruh terhadap KITLV dan Musium Leiden untuk, dalam rangka peringatan 100 th Bung Karno memeriahkannya dengan menerbitkan buku Prof Dr Bob Hering berjudul Sukarno, Architect of a Nation. Tokh harus dicatat bahwa kemajuan pandangan seperti dikemukakan diatas tak sedikitpun tercermin pada organisator peringatan-perayaan 400 tahun berdirinya VOC. Hal ini sedikit banyak disadari oleh sementara pers Belanda.

Dua orang wartawan Belanda dari suatu stasiun TV non-komersial baru-baru ingin melakukan wawancara dengan saya dalam rangka perayaan berdirinya VOC. Sementara teman memperingatkan saya, agar siap-siap bahwa apa yang saya kemukakan di dalam wawancara nanti, bila itu tidak berkenan di fikiran mereka, akan dihilangkan, diedit sedemikian rupa, sehingga nantinya dari wawancara saya itu, bisa timbul kesan bahwa saya “menyambut” perayaan 400 th berdirinya VOC. Saya perhatikan canang kawan tersebut. Kepada wartawan Belanda itu saya katakan, bahwa pandangan saya mengenai VOC bertolak belakang dengan pandangan para organisator peringatan 400 th VOC. Bagi saya dan semua orang Indonesia yang cinta-tanah airnya, yang patriotik dan jujur, apalagi yang pernah ambil bagian langsung dalam perjuangan kemerdekaan, VOC itu adalah voorloper, adalah pasukan perintis sekaligus stoottroep dari kolonialisme Belanda. Bahwa politik dan tindakan pemerintah kolonial Hindia Belanda, tidak lain melanjutkan politik dan praktek kolonial dari VOC. Kemudian saya sampaikan kepadanya bahwa dari pelajaran sejarah yang saya peroleh di bangku sekolah sesudah Belanda ditaklukkan oleh Jepang, kemudian dari penelitian sementara literatur sejarah, saya dapati bahwa, dalam rangka memaksakan monopolinya atas asil tanaman buah pala di pulau Banda, VOC di bawah J.P.Coen telah mengirimkan 2000 serdadu plus sejumlah pembunuh sewaan dari golongan Samurai Jepang, dan telah membantai 15.000 rakyat Banda serta memotong kepala 33 kepala suku di pulang Banda. Sehinga penduduk Banda sama sekali punah. Belum lagi Hongi Tochten, yaitu tindakan penghukuman VOC atas penduduk Maluku, termasuk Banda, di mana VOC melakukan pembakaran dan pemusnahan atas tanaman rempah-rempah di situ, serta melakukan teror terhadap penduduk di wilayah tersebut untuk membikin stabil harga rempah-rempah di pasaran Amsterdam, jangan sampai merosot disebabkan oleh “overpruduksi” di Indonesia Timur. Demi keuntungan yang melimpah-ruah VOC tidak segan-segan untuk melakukan tindakan kekerasan, melakukan pembunuhan, penindasan dan melancarkan perang. Belum lagi penggunaan orang Indonesia, untuk dipekerjakan sebagai budak-budak di pelbagai perkebunan pala, cengkeh, merica dan lain-lain.

Begitu menyoloknya tindakan biadab yang dilakukan oleh VOC, sampai-sampai salah seorang gubernur VOC di Maluku, bernama Laurens Reael, karena tidak tahan melihat kebiadaban tindakan VOC terhadap rakyat Maluku, beberapa bulan saja sesudah diangkat menjadi pejabat, segera minta keluar. Ia melakukan kecaman keras terhadap pemerintah Belanda. Mantan gubernur Laurens Reael adalah pejabat tinggi Belanda pertama yang menentang praktek jahat VOC. Praktek-praktek VOC menurut Rick van de Broeke, salah seorang keturunan dari kekuasaan VOC dulu, merupakan lembaran hitam dalam sejarah Belanda. Menurut mantan gubernur Laurens Reael dalam suratnya kepada direksi VOC di Holland ketika itu, tindakan-tindakan VOC yang melakukan perampokan, penyiksaan dan pembunuhan terhadap orang-orang Indonesia, telah membikin orang-orang Belanda terkenal di seluruh Hindia (Indonesia) sebagai bangsa yang paling kejam di seluruh dunia.

Atas beberapa pertanyaan kongkrit yang diajukan oleh wartawa TV Belanda itu saya jelaskan bahwa sementara orang Belanda masih melakukan penggelapan terhadap sejarah VOC, masih berusaha untuk menyembunyikan hal-hal yang gelap dari sejarah VOC. Ketika wartawan tersebut menanyakan kepada saya, apakah Belanda harus minta maaf kepada rakyat Indonesia atas masa lampau kolonialismenya di Indonesia, saya jawab:Absoluut!